Minggu, 17 September 2017

Darurat Agraria


Pada pembahasan pendahuluan praktikum Budidaya Tanaman Pangan Utama dan praktikum Pengelolaan Air kali ini diadakan seminar atau sharing dan diskusi terbuka bersama Wanggi Hoed (Seniman dan Pemerhati Isu Lingkungan dan Agraria). Beliau lahir di Cirebon tepatnya tanggal 24 Mei 1988 lalu merupakan Alumni STSI atau sekarang kita kenal dengan ISBI Bandung dan lulus tahun 2012. Aktif berkarya dan berproses kreatif di dunia seni pertujunkan sejak tahun 2004 sebagai alumnus jurusan teater tersebut beliau sekarang produktif berkarya di berbagai ruang publik dan ruang budaya. Wanggi Hoediyatno begitu nama aslinya adalah Seniman Pantomime Indonesia. Selalu menggunakan bahasa perdamaian dalam aksinya.         
Wanggi Hoed

Demo Penolakan Pabrik Semen
Sebelum dimulai ke sesi diskusi dan sharing kami disajikan 2 buah film tentang kasus ke-agraria-an. Film pertama yang berjudulSAMIN vs SEMEN dan film kedua adalah “KASUS LANGKAT 3”. Pada intro film pertama ditayangkan luas lahan pertanian daerah Jawa Timur yang selanjutnya luas pabrik semen (Gresik/Indocement) sisa penggerukan. Awal mulanya PT. Indocement akan membangun di wilayah orang Samin, akan tetapi penolakan orang Samin begitu kuat sehingga berhasil pindah ke daerah lain yaitu ke Rembang tepatnya di Kecamatan Gunen. Sejak zaman dahulu juga orang-orang Samin memang selalu menentang apa saja terhadap pemerintah Belanda seperti contohnya enggan membayar pajak. Lalu dengan penolakan orang Samin pabrik semen terhambat. “Sedulur Sikep” itulah motto dari orang-orang Samin.

Selain di Rembang, aksi penolakan terhadap pembangunan semen juga terjadi di Pati Kecamatan Tambakromo. Mereka – para petani Jawa – sangat sedih jika tanah nenek moyangnya di alih fungsikan menjadi lahan industri. Karena, lahan pertanian masyarakat Jawa Timur jauh lebih penting untuk menyambung kehidupannya dan akan menjadi harta warisan untuk anak cucu mereka. Disana lebih diutamakan menjadi petani dan pantang untuk menjadi pedagang apalagi untuk menjadi orang yang terpandang. Sebuah kutipan yang saya ambil dari film pertama yaitu dari masyarakat Jawa Timur adalah

Lebih baik meperbaiki tindakan dan ucapan, tidak mengejar harta, pangkat serta jabatan” tutur Ketua Desa.

Selanjutnya dari film pertama tersebut kita diberikan rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap perjuangan masyarakat Jawa terhadap perlawanan para aparat keamanan serta oknum yang pro terhadap pembangunan semen. Diantara masyarakat yang kontra terhadap pembangunan semen rela pagi, siang, sore untuk melawan para petugas penjaga gerbang sampai membuat tenda-tenda di pinggir jalan lalu setiap malam harinya selalu mengaji dan bershalawat sambil menangis. Perjuangan mereka sangat hebat sekali dan luar biasa hingga membuat para pekerja seni tersentuh hati nuraninya untuk melihat dan pastinya untuk menyemangati aksi tersebut. Salah satunya yaitu Melanie Subono, beliau banyak mewawancarai termasuk tukang ojek yang mengantarkannya ke tempat peristiwa penolakan pembangunan pabrik semen.

Dalam wawancaranya Melanie menanyakan berapa luas lahan yang diambil/digunakan PT. Indocement lalu menurut pernyataan tukang ojek tersebut lahan yang terkena penjualan/pembuatan untuk pabrik semen sebesar 180 hektar yang dimiliki dari 156 orang. Sesampainya disana, Melanie dan rombongan disambut dengan para ibu yang semangat menyanyikan lagu kemenangan yang dipimpin oleh Kepala Desa.
Namanya tanah air, masa kita punya tanah tapi nggak punya air” begitu pendapat Melanie setelah melihat semangat nyanyian para ibu di Pati. Selain itu, Melanie berpendapat bahwa semangat yang luar biasa itu telah mengantarkan dia ke tanah Jawa ini.

Semangat para wanita yang luar biasa di kampung ini, tidak seperti wanita di kota yang banyak nyeleneh dan mengeluh” jelasnya.

Selain di Rembang dan Pati sebelumnya pembuatan pabrik semen juga terjadi di Tuban. Kemudian para petani disana mengeluh akan dampak pengaruh negatif yang tercemar dari pembuangan pabrik semen. Mereka menginginkan segera ditutup pabrik tersebut tetapi sampai sekarang masih beroperasi saja. Menurut penuturan bapak petani di Tuban yang awalnya mereka di iming-imingi lahan pekerjaan setelah lahan budidayanya dijual. Namun, kenyataannya tidak sesuai dengan perjanjian lalu bapak tersebut merasa menyesal serta rekan-rekan yang lainnya pun merasakan hal yang sama.

Lebih baik tanah pertanian dapat menghasilkan sampai akhir hayat dari pada uang hanya sesaat dan pasti bakal hilang” tutur bapak tersebut.

Contohnya adalah anak bapak petani sendiri yaitu hasil dari penjualan lahan hanya dihargai sebesar Rp. 600.000,- per meter dan langsung dibelikan 2 buah sepeda motor oleh anaknya dan sampai sekarang motor tersebut semuanya rusak.

            Wawancara dengan bapak petani tadi menutup dari film pertama dan diakhiri dengan aksi nyata masyarakat Jawa khususnya orang-orang Samin. Walaupun mereka baru mendapatkan tanda pengenal negeri yaitu KTP (Kartu Tanda Penduduk) tetapi semangat berjuang untuk menghadapi perlawanan dari zaman Kolonial Belanda sampai sekarang masih kuat. Dilihat dari atas menggunakan bantuan drone, masyarakat petani Jawa membuat sebuah tulisan pembelaan terhadap penolakan pembuatan pabrik semen “TOLAK PABRIK SEMEN DI JAWA”. Film ini didokumentasikan oleh Tim Ekspedisi Indonesia Biru karya Dandhy Laksono dan Ucok. Menurut saya, film ini sangat bagus sekali karena ada unsur humornya dan membuat persuasif seseorang termasuk saya. Cara pengambilan gambar yang keren dan memadukan musiknya dengan tepat.

            Film kedua ini menceritakan hal yang serupa tentang darurat agraria yaitu pengalihan lahan sawit di Tanjunglangkat Sumatera Utara. Lalu membuat seorang aktor Rio Dewanto tergugah menuju kesana disela-sela proyek shooting film Filosofi Kopi 2 dan disana beliau langsung disambut oleh Tim SPI (Serikat Pertanian Indonesia). Sama seperti orang-orang Samin di Sumatera mereka menolak pengalihannlahan di PTPN II. Disini mereka lebih parah perlawanannya karena sampai ada yang dilempari batu oleh petugas keamanan sampai berdarah. Rio mewawancarai banyak termasuk Sekretaris Umum SPI. Jumlah areal luas lahan yang dialih fungsikan yaitu seluas 554 hektar menurut anggota SPI yang telah diwawancarai oleh Rio.

Setelah itu, dilahan yang dipermasalahkan mereka mendirikan tenda untuk mengaji bersama sekaligus untuk penyambutan kedatangan aktor terpandang – Rio Dewanto – atas partisipasinya untuk menyempatkan hadir di Tanjunglangkat tepatnya di Desa Mekar Jaya. Pertemuan diawali dengan sambutan bapak Kepala Desa dilanjutkan pidato dan aksi perlawanan yang terkait. Masyarakat disana menginginkan ucapan dari Presiden Joko Widodo tahun lalu tersebut sesuai yaitu akan membagikan kepada setiap petani lahan seluas 2 hektar untuk pertanian dan 0,25 hektar untuk pemukiman setiap satu rumah. Semoga ter-realisasi dengan baik. Menurut saya di film kedua ini memfokuskan wawancara masyarakat dan wawancara khusus bersama anggota SPI. Tetapi melalui video karya Rio Dewanto tersebut dapat menjadi video dokumenter yang persuasif dimana bisa mengubah serta menghasut kita sebagai mahasiswa untuk mampu seperti beliau yaitu peduli dan peka tehadap kedaruratan agraria.

            Setelah film kedua selesai selanjutnya dimulai sesi diskusi setiap kelompok. Berdasarkan pemaparan narasumber bahwa kia sebagai Agent of Change harus bisa menuntaskan masalah darurat agraria seperti 2 film yang telah ditayangkan. Bisa lebih peka terhadap problem seputar pertanian khususnya dan umumnya untuk semuanya. Kita sebagai mahasiswa harus mempunyai inovasi dan memperbanyak ilmu-ilmu seperti kesenian, hukum yang ada UU dan sebagainya. Contohnya seperti di Tuban ada pabrik semen yang sudah beroperasi sudah lama dan akan ditutup lalu bagaimana caranya agar segera ditutup/dihilangkanpabrik tersebut. Maka, kita sebagai mahasiswa harus mempunyai inovasi, ide dan gagasan se-efektif mungkin. Intinya kita harus bisa dan ahli dalam semua bidang keilmuan dan menjaga harta warisan Ibu Pertiwi yaitu lahan pertanian tanah air Indonesia. 




Rio Dewanto

di Mekar Jaya

bersama SPI








Tidak ada komentar: