Pada
pembahasan pendahuluan praktikum Budidaya Tanaman Pangan Utama dan praktikum
Pengelolaan Air kali ini diadakan seminar atau sharing dan diskusi terbuka
bersama Wanggi Hoed (Seniman dan Pemerhati Isu Lingkungan dan Agraria). Beliau lahir
di Cirebon tepatnya tanggal 24 Mei 1988 lalu merupakan Alumni STSI atau
sekarang kita kenal dengan ISBI Bandung dan lulus tahun 2012. Aktif berkarya
dan berproses kreatif di dunia seni pertujunkan sejak tahun 2004 sebagai
alumnus jurusan teater tersebut beliau sekarang produktif berkarya di berbagai
ruang publik dan ruang budaya. Wanggi Hoediyatno begitu nama aslinya adalah
Seniman Pantomime Indonesia. Selalu menggunakan bahasa perdamaian dalam
aksinya.
![]() |
Wanggi Hoed |
![]() |
Demo Penolakan Pabrik Semen |
Sebelum
dimulai ke sesi diskusi dan sharing kami disajikan 2 buah film tentang kasus
ke-agraria-an. Film pertama yang berjudul “SAMIN vs SEMEN” dan film kedua
adalah “KASUS LANGKAT 3”. Pada intro film pertama ditayangkan luas lahan
pertanian daerah Jawa Timur yang selanjutnya luas pabrik semen
(Gresik/Indocement) sisa penggerukan. Awal mulanya PT. Indocement akan
membangun di wilayah orang Samin, akan tetapi penolakan orang Samin begitu kuat
sehingga berhasil pindah ke daerah lain yaitu ke Rembang tepatnya di Kecamatan
Gunen. Sejak zaman dahulu juga orang-orang Samin memang selalu menentang apa
saja terhadap pemerintah Belanda seperti contohnya enggan membayar pajak. Lalu
dengan penolakan orang Samin pabrik semen terhambat. “Sedulur Sikep” itulah
motto dari orang-orang Samin.
Selain di Rembang, aksi penolakan terhadap pembangunan
semen juga terjadi di Pati Kecamatan Tambakromo. Mereka – para petani Jawa – sangat
sedih jika tanah nenek moyangnya di alih fungsikan menjadi lahan industri.
Karena, lahan pertanian masyarakat Jawa Timur jauh lebih penting untuk
menyambung kehidupannya dan akan menjadi harta warisan untuk anak cucu mereka.
Disana lebih diutamakan menjadi petani dan pantang untuk menjadi pedagang
apalagi untuk menjadi orang yang terpandang. Sebuah kutipan yang saya ambil
dari film pertama yaitu dari masyarakat Jawa Timur adalah
“Lebih baik meperbaiki tindakan dan ucapan, tidak mengejar harta, pangkat
serta jabatan” tutur Ketua Desa.
Selanjutnya dari film pertama
tersebut kita diberikan rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap perjuangan
masyarakat Jawa terhadap perlawanan para aparat keamanan serta oknum yang pro
terhadap pembangunan semen. Diantara masyarakat yang kontra terhadap
pembangunan semen rela pagi, siang, sore untuk melawan para petugas penjaga
gerbang sampai membuat tenda-tenda di pinggir jalan lalu setiap malam harinya
selalu mengaji dan bershalawat sambil menangis. Perjuangan mereka sangat hebat
sekali dan luar biasa hingga membuat para pekerja seni tersentuh hati nuraninya
untuk melihat dan pastinya untuk menyemangati aksi tersebut. Salah satunya yaitu
Melanie Subono, beliau banyak mewawancarai termasuk tukang ojek yang
mengantarkannya ke tempat peristiwa penolakan pembangunan pabrik semen.
Dalam wawancaranya Melanie menanyakan berapa luas
lahan yang diambil/digunakan PT. Indocement lalu menurut pernyataan tukang ojek
tersebut lahan yang terkena penjualan/pembuatan untuk pabrik semen sebesar 180
hektar yang dimiliki dari 156 orang. Sesampainya disana, Melanie dan rombongan
disambut dengan para ibu yang semangat menyanyikan lagu kemenangan yang dipimpin
oleh Kepala Desa.
“Namanya tanah air, masa kita punya tanah tapi nggak punya air” begitu
pendapat Melanie setelah melihat semangat nyanyian para ibu di Pati. Selain
itu, Melanie berpendapat bahwa semangat yang luar biasa itu telah mengantarkan
dia ke tanah Jawa ini.
“Semangat para wanita yang luar biasa di kampung ini, tidak seperti
wanita di kota yang banyak nyeleneh dan mengeluh” jelasnya.
Selain di Rembang dan Pati sebelumnya pembuatan pabrik
semen juga terjadi di Tuban. Kemudian para petani disana mengeluh akan dampak
pengaruh negatif yang tercemar dari pembuangan pabrik semen. Mereka
menginginkan segera ditutup pabrik tersebut tetapi sampai sekarang masih
beroperasi saja. Menurut penuturan bapak petani di Tuban yang awalnya mereka di
iming-imingi lahan pekerjaan setelah lahan budidayanya dijual. Namun,
kenyataannya tidak sesuai dengan perjanjian lalu bapak tersebut merasa menyesal
serta rekan-rekan yang lainnya pun merasakan hal yang sama.
“Lebih baik tanah pertanian dapat menghasilkan sampai akhir hayat dari
pada uang hanya sesaat dan pasti bakal hilang” tutur bapak tersebut.
Contohnya adalah anak bapak petani sendiri yaitu hasil dari penjualan
lahan hanya dihargai sebesar Rp. 600.000,- per meter dan langsung dibelikan 2
buah sepeda motor oleh anaknya dan sampai sekarang motor tersebut semuanya
rusak.
Wawancara dengan bapak
petani tadi menutup dari film pertama dan diakhiri dengan aksi nyata masyarakat
Jawa khususnya orang-orang Samin. Walaupun mereka baru mendapatkan tanda
pengenal negeri yaitu KTP (Kartu Tanda Penduduk) tetapi semangat berjuang untuk
menghadapi perlawanan dari zaman Kolonial Belanda sampai sekarang masih kuat.
Dilihat dari atas menggunakan bantuan drone, masyarakat petani Jawa membuat
sebuah tulisan pembelaan terhadap penolakan pembuatan pabrik semen “TOLAK
PABRIK SEMEN DI JAWA”. Film ini didokumentasikan oleh Tim Ekspedisi Indonesia
Biru karya Dandhy Laksono dan Ucok. Menurut saya, film ini sangat bagus sekali
karena ada unsur humornya dan membuat persuasif seseorang termasuk saya. Cara
pengambilan gambar yang keren dan memadukan musiknya dengan tepat.
Film kedua ini
menceritakan hal yang serupa tentang darurat agraria yaitu pengalihan lahan
sawit di Tanjunglangkat Sumatera Utara. Lalu membuat seorang aktor Rio Dewanto
tergugah menuju kesana disela-sela proyek shooting film Filosofi Kopi 2 dan disana
beliau langsung disambut oleh Tim SPI (Serikat Pertanian Indonesia). Sama
seperti orang-orang Samin di Sumatera mereka menolak pengalihannlahan di PTPN
II. Disini mereka lebih parah perlawanannya karena sampai ada yang dilempari
batu oleh petugas keamanan sampai berdarah. Rio mewawancarai banyak termasuk
Sekretaris Umum SPI. Jumlah areal luas lahan yang dialih fungsikan yaitu seluas
554 hektar menurut anggota SPI yang telah diwawancarai oleh Rio.
Setelah itu, dilahan yang dipermasalahkan mereka
mendirikan tenda untuk mengaji bersama sekaligus untuk penyambutan kedatangan
aktor terpandang – Rio Dewanto – atas partisipasinya untuk menyempatkan hadir
di Tanjunglangkat tepatnya di Desa Mekar Jaya. Pertemuan diawali dengan sambutan bapak Kepala Desa
dilanjutkan pidato dan aksi perlawanan yang terkait. Masyarakat disana
menginginkan ucapan dari Presiden Joko Widodo tahun lalu tersebut sesuai yaitu
akan membagikan kepada setiap petani lahan seluas 2 hektar untuk pertanian dan
0,25 hektar untuk pemukiman setiap satu rumah. Semoga ter-realisasi dengan
baik. Menurut saya di film kedua ini memfokuskan wawancara masyarakat dan
wawancara khusus bersama anggota SPI. Tetapi melalui video karya Rio Dewanto
tersebut dapat menjadi video dokumenter yang persuasif dimana bisa mengubah
serta menghasut kita sebagai mahasiswa untuk mampu seperti beliau yaitu peduli
dan peka tehadap kedaruratan agraria.

![]() |
Rio Dewanto |
![]() |
di Mekar Jaya |
![]() |
bersama SPI |